Minggu, 12 Mei 2013

DIFTERIA

DIFTERIA

PENDAHULUAN
Difteria masih merupakan penyakit endemik di banyak Negara di dunia. Pada awalnya tahun 1980an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada Negara bekas Uni Sovyet. Karenakekacauan program imunisasi, dan pada tahun 2000an epidemik difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.


EPIDEMIOLOGI
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat  difteria berkurang sangat banyak. Angka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta (RSCM), Bandung (RSHS), Makassar (RSWS), Semarang (RSK), dan Palembang (RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus  yang menyerang usia >14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus  difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR = 2,82%), sebagian besar menyerang usia >15 tahun.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang dan Palembang , terdapat angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia <1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia di atas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporkan bahwa 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.

ETIOLOGI
Penyakit difteria disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Difteria berasal dari bahasa Yunani, diphtera = leather hide = kulit yang tersembunyi. Penyakit ini mempunyai dua bentuk , yaitu :
  • 1.      Tipe respirasi, yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin (toksigenik).
  • 2.      Tipe kutan, yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun yan non toksigenik.
Tipe respirasi biasanya mengakibatkan gejala berat sampai meninggal, sedangkan tipe kutan umumnya ringan dengan peradangan yang tidak khas, sehingga tidak lagi dilaporkan dalam program penanggulangan.
Eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung oksigen.

PENULARAN
Penularan penyakit terjadi melalui droplet saat penderita (atau karier) batuk, bersin, dan berbicara. Akan tetapi, debu atau muntahan juga bisa menjadi media penularan. Masa inkubasinya adalah 2-5 hari. Karier adalah orang yang terinfeksi bakteri pada hidung atau tenggorok tetapi tidak mengalami gejala penyakit. Penyakit ini sangat menular ke teman sekolah satu kelas, teman bermain, dan tetangga.
Kuman difteria masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa atau selaput lendir. Kuman akan menempel dan berkembang biak pada mukosa saluran napas atas. Selanjutnya kuman akan memproduksi toksin yang merembes dan menyebar ke atas. Selanjutnya kuman akan memproduksi toksin yang merembes dan menyebar ke daerah sekitar dan ke seluruh tubuh dengan melalui pembuluh darah dan limfe.

GEJALA DAN TANDA
Terdapat peradangan pada tenggorok, demam yang tidak tinggi,dan pembengkakan leher (khas difteria : ‘bull-neck’). Terjadi pembentukan membran (pseudomembrane) keputihan pada tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah bila dilepas. Peradangan dapat menyebabkan kematian dengan menyumbat saluran napas. Komplikasi dapat terjadi karena efek toksin dari kuman yang menyerang syaraf menyebabkan kelumpuhan, dan menyerang jantung menyebabkan miokarditis.

C.diphteriae bersifat toxin-mediated disease yang membentuk selaput pada nasofaring dan ntoksin dapt menyebar ke dalam aliran darah yang bisa mengakibatkan miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan proteinuria.

PENGOBATAN
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien lainnya. Pengobatan ditujukan untuk memulihkan pasien akibat peradangan dan toksin bakteri itu sendiri, yang terdiri dari :
  • 1.      Diphteriae anti-toxin (DAT) atau antidifteri serum (ADS) merupakan antitoksin yang  bisa diproduksi dari serum kuda dan akan mengikat toksin dalam darah namun tidak dalam jaringan. DAT diberikan pada tersangka penderita difteria tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium.
  • 2.      Antibiotik eritromisin atau penisilin diberikan utnuk terapi dan profilaksis. Pengobatan tersangka difteria bertujuan untuk menekan penularan penyakit.
  • 3.      Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.

PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertussis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak usia sekolah dasar. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada golongan anak yang diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 81,3%, infeksi sedang 16,4%, dan infeksi berat hanya 2,3%. Pada anak yang tidak diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 19,0%, infeksi sedang 21,5%, dan infeksi berat 59,5%. Mortalitas pada anak yang tidak diberi imunisasi empat kali lebih besar dibandingkan anak yang diberi imunisasi.
Setiap bayi (0-1 tahun) perlu diberi vaksin DPT sebanyak tiga kali yang dimulai pada anak usia dua bulan dengan selang waktu antarsuntikan minimal satu bulan, dan diulangi lagi setelah anak berumur 6-7 tahun melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) di sekolah dasar.

Tidak ada komentar: